Friday, February 11, 2011

HOW DOES THE POET REVEAL THE POETRY AS A REFLECTION? Cunong N. Suraja

HOW DOES THE POET REVEAL THE POETRY AS A REFLECTION?
Cunong N. Suraja
Poetry as the oldest literature is very debatable when it is discussed what the poets want to express through it. On Wikipedia is stated that it is a form of literary art in which language is used for its aesthetic and evocative qualities in addition to, or in lieu of, its apparent meaning. … Some forms of poetry are specific to particular cultures and genres, responding to the characteristics of the language in which the poet writes. … In today's globalized world poets often borrow styles, techniques and forms from diverse cultures and languages. … Some of these became sayings in the everyday language. Across time and cultures the meanings of the words change, and make it difficult to enjoy the original beauty and power of poems. (http://en.wikipedia.org/wiki/Poetry).
Besides the poetry the maker which is called a poet is defined as a person who writes poetry. A poet's work can be literal, meaning that his work is derived from a specific event, or metaphorical, meaning that his work can take on many meanings and forms. Poets have existed since antiquity, in nearly all languages, and have produced works that vary greatly in different cultures and time periods. Throughout each civilization and language, poets have used various styles that have changed through the course of literary history, resulting in a history of poets as diverse as the literature they have produced. Then it is summarized by Arthur Rimbaud as making himself a visionary through a long, boundless, and systematized disorganization of all the senses. All forms of love, of suffering, of madness; he searches himself, he exhausts within himself all poisons, and preserves their quintessence. Unspeakable torment, where he will need the greatest faith, a superhuman strength, where he becomes all men: the great invalid, the great criminal, the great accursed—and the Supreme Scientist! For he attains the unknown! Because he has cultivated his soul, already rich, more than anyone! He attains the unknown, and, if demented, he finally loses the understanding of his visions, he will at least have seen them! So what if he is destroyed in his ecstatic flight through things unheard of, unnameable: other horrible workers will come; they will begin at the horizons where the first one has fallen! (http://en.wikipedia.org/wiki/Poet).
Let me try to reveal some of mine in attempting to explain and try to give one of the alternatives in reading poetry – let me say my poems. Before the poems are written previously only something in my mind like watching film about my most memorable events in the last minutes, or at the first time I intend to do something or go to someplace I prepare the vessel for saving any event, sight or problems that struck my impression in order to be the trigger of any writing ideas. That is all triggers that I try to keep when I do my pilgrimage to Mecca.
This chance to go to Mecca is the second time and I face the similar problem and similar shocking on facing that:
bulan lindap di antara runcing menara Masjidil Haram menenggelamkan angan bosan menatap kekalahan
perhitunganmu pada ajal, wahai Chairil Anwar, ternyata tidak hanya selebar kafan (BULAN RETAK DALAM BAYANG KA’BAH)
keperihan demi keperihan cinta seakan riwayat Barathayuda yang menagih janji umpatan dan kutuk serapah semasa muda bagai janin tak mekar tertikam pijatan dukun dan sayatan pisau bedah di meja operasi dokter praktek gelap
(TEMAN BERBISIK MENDERA GALAU ZIKIR)
ribuan mulut semakin basah mohon ampunan dan meminta perlindungan dari gangguan berhala
layaknya pesta pasar malam mereka datang bergerombolan bersaudaraan juga berketetapan sama di padang pengampuan Arofah
layaknya lelatu menuju pijaran api mereka siap mati sahid sempurna dalam ―wadhag‖ kasar terbalut kain ihram
(KUTULISKAN AROFAH PADA TUGU JABAL RAHMAH)
di langit bulan bugil bulat menuruti garis edarnya memudar di balik pilar-pilar masjid dengan aneka warna ornamental yang massif
mencoba menggenggam tangan yang telah lama terenggang pertikaian yang tak selesai-selesai
(AKU INGIN MENULIS TENTANG CINTA KITA YANG PUDAR DALAM CAHAYA BULAN DI BALIK BAYANG KA'BAH)
ribuan belahan granit dingin senantiasa diam-diam mengumpulkan remah janji dalam retakan retakan irisan batu yang datar tanpa pemisah kecuali berkah alam dalam warna aslinya
ribuan uang terbayarkan melunasi keretakan yang tak kunjung terpagut rapi dalam cinta purba
(AKU INGIN MENCATAT CINTA KITA YANG RETAK DI PELATARAN MASJIDIL NABAWI MEDINAH)
cahaya lelampuan yang memanggang malam di puncak birahinya ambyar berderak mempelangikan warna doa yang makin kuyup dengan tetesan airmata penyesalan
jutaan orang acuh dan abai dengan janji dan penyesalan ke haribaan sang Khalik
(AKU MELIHAT CINTA ITU AMBYAR DALAM PETAK-PETAK MARMER DINGIN DI PELATARAN KA'BAH)
kembali ruang-ruang hati terbuka atas debu kianat yang tak tertangguhkan untuk dimuntahkan dalam siasat kerikil yang coba dilemparkan di jumarat
kembali ruang-ruang petaka menyodorkan cerita drama berseri dengan cerita yang sama dan tokoh berganti nama dan rupa, tapi semuanya adalah bayangan pada cermin atas muka yang menatap ragu
(AKU MENYIMPAN PERIH LUKA NESTAPA CINTA DI RONGGA TEROWONGAN MINA MENJELANG LEMPAR JUMRAH QUBRO)
ketika berangkat dengan harap membongkar segala maksiat yang melekat berlarat-larat sepanjang abad yang terlewat
tak disentuhnya jejalan pagi siang malam dalam jejak lelampuan kota yang merubah pucat pasi wajah yang bertotol-totol segala macam pendurhakaan atas segala nasihat kitab suci
jejak nabi diingkari hanya mengatakan jejak ziarah sejarah dalam goa-goa berbatu tanpa rerumputan kering yang tegak
(AKU MENYAKSIKAN KERONTANGNYA RERUMPUTAN YANG TAK MAMPU LAGI TEGAK DI PADANG ARAFAH)
masih juga dipergunjingkan peristiwa langka menerpa di tanah haram saling terkam masa silam menghadang bayangan pada putaran tawaf hingga usai sai di ujung bukit membisu sejarah purba tentang wanita dirundung nestapa hingga di tanah jauh di timur belahan dunia terlingkungi gelombang samodra
(PERCAKAPAN PENZIARAH)
From the other poems, they are not really reflected of the pilgrimage moment but it seems having the pilgrimage to the past present and the future about the home town, the people that still in the shadow of the creativity process such as friends from the campus or anyone in the process of finding the path of creativity. It is very easy to check from the proper name such as Yogyakarta, Marjudin, Suminto, Bakdi Soemanto and landing R. Simatupang.
Those poems reveal all about the past, present and future time. Whatever and whenever or wherever hometown and any religious experiences are the deep well sources which are never drought. Be happy for the poet who always keeps any moment as the experience of the ideas.
(1) BULAN RETAK DALAM BAYANG KA’BAH
perjalanan alam dan angan menyatu pada putaran tawaf batu ka’bah
memburu ampunan meminta pengakuan dosa juga segenap keinginan
bulan merayapi lengkung langit diam dalam hamparan pasir dingin mengenang Nawangwulan atas janji menyusui anak negri dengan sesuap padi
bulan lindap di antara runcing menara Masjidil Haram menenggelamkan angan bosan menatap kekalahan
perhitunganmu pada ajal, wahai Chairil Anwar, ternyata tidak hanya selebar kafan
langit tetap diam, mereka menggumamkan kebesaran Ilahi dan mohon ampunan berkali-kali
tujuh kali putaran menyeret langkah kaki kepedihan yang tak tertarakan
wahai bulan yang lindap di pucuk malam, perkenankan isyaratmu akan kebesaran keretakan sukmaku
yang pasrah tanpa syarat di ujung lintasan sa’i
(2) TEMAN BERBISIK MENDERA GALAU ZIKIR
sesungguhnya aku telanjang tanpa benang melintang seandainya lilitan kain ihram ini terperosot
tubuh bayiku makin menggelinjang dalam birahi doa terang bulan usai sholat malam dua raka’at
sesungguhnya teman itu tak lagi memandang ketelanjangan diri yang bersaksi dalam buntalan kafan putih
keperihan demi keperihan cinta seakan riwayat Barathayuda yang menagih janji umpatan dan kutuk serapah semasa muda bagai janin tak mekar tertikam pijatan dukun dan sayatan pisau bedah di meja operasi dokter praktek gelap
sesungguhnya perhitungan masa kini hasil perhitungan penyair tua yang makin menuliskan angan yang berputar seperti rekamam cakram padat di bibir pemutar cakram sebuah computer
sulur-sukur magnetisnya seakan gengaman kasih tercinta menuju ambang cakrawala fajar
(3) KUTULISKAN AROFAH PADA TUGU JABAL RAHMAH
padang senyap seusai perjalanan sehari menyambut batu pelempar jumarat di bukit Mina layaknya isteri Karna, senopati agung Hastina, yang menyibak genangan darah dan gunungan mayat di Kurusetra mencari ‖kunarpo‖ belahan jiwa yang tertikam dusta Kresna
ribuan bahkan jutaan manusia terbalut kain kafan putih senantiasa mendizikirkan namaMU
ribuan mulut semakin basah mohon ampunan dan meminta perlindungan dari gangguan berhala
layaknya pesta pasar malam mereka datang bergerombolan bersaudaraan juga berketetapan sama di padang pengampuan Arofah
layaknya lelatu menuju pijaran api mereka siap mati sahid sempurna dalam ―wadhag‖ kasar terbalut kain ihram
kabar itu makin menggema sebagai panggilan pesta: Labbaik allahhuma labbaik!
2010
(4) AKU INGIN MENULIS TENTANG CINTA KITA YANG PUDAR DALAM CAHAYA BULAN DI BALIK BAYANG KA'BAH
bagai dua pemain drama yang berhadapan di panggung dalam diam lupa percakapan
disusuri tepi masa waktu kala yang lewat dari butiran air mata hingga lelehan ludah kering pahit seusai monolog
di sisi penonton gelisah menanti ujung cerita percintaan di taman saat petang
lelampuan kota lindap menyekap keberanian untuk menuntaskan pentas getas
di langit bulan bugil bulat menuruti garis edarnya memudar di balik pilar-pilar masjid dengan aneka warna ornamental yang massif
mencoba menggenggam tangan yang telah lama terenggang pertikaian yang tak selesai-selesai
2010
(5) AKU INGIN MENCATAT CINTA KITA YANG RETAK DI PELATARAN MASJIDIL NABAWI MEDINAH
ribuan kaki manusia menyemut di sekeliling baitullah dengan kemikan permintaan ampunan tanpa jeda
ribuan warna kulit yang berbeda bergesekan berselancar memburu keihklasan ya Robb
ribuan pinta yang berdengung di pintu batu hitam kiblat manusia menundukkan kepala lima kala masa saat dalam perjalanan menuju lahat
ribuan gagap kata manakala menengok timbuan bayang dosa kekhilafan yang menggayuti langkah yang makin sarat keraguan dalam perjalanan ridhoMu ya Robb
ribuan belahan granit dingin senantiasa diam-diam mengumpulkan remah janji dalam retakan retakan irisan batu yang datar tanpa pemisah kecuali berkah alam dalam warna aslinya
ribuan uang terbayarkan melunasi keretakan yang tak kunjung terpagut rapi dalam cinta purba
2010
(6) AKU MELIHAT CINTA ITU AMBYAR DALAM PETAK-PETAK MARMER DINGIN DI PELATARAN KA'BAH
kepala yang runduk datar sedatar bumi cekung di hamparan kaki yang berderap tujuh kali putaran batu hitam
kaki-kaki retak berwarna pualam menyusuri luka zaman yang dirasa Sinta sebelum meloncati pancaka
Rama memandang tajam dari pucuk menara masjidil Haram mata elang dan kepak merpati patah teman melayang ringan
ribuan burung camar yang bersuat-suit menyemooh cinta Rama yang pudar retak di petak-petak marmer berbatas lukisan garis usia bumi
cahaya lelampuan yang memanggang malam di puncak birahinya ambyar berderak mempelangikan warna doa yang makin kuyup dengan tetesan airmata penyesalan
jutaan orang acuh dan abai dengan janji dan penyesalan ke haribaan sang Khalik
bulan purnama bulat tak mampu menyinari persada dalam kerumun manusia merintihkan dosa-dosanya
(7) AKU MENYIMPAN PERIH LUKA NESTAPA CINTA DI RONGGA TEROWONGAN MINA MENJELANG LEMPAR JUMRAH QUBRO
kembali ruang-ruang hati terbuka atas debu kianat yang tak tertangguhkan untuk dimuntahkan dalam siasat kerikil yang coba dilemparkan di jumarat
kembali ruang-ruang petaka menyodorkan cerita drama berseri dengan cerita yang sama dan tokoh berganti nama dan rupa, tapi semuanya adalah bayangan pada cermin atas muka yang menatap ragu
kembali dalam bis yang mengantongi sisa debu kerikil pelempar jumroh menuju kekinian yang masih menyisakan tekateki
(8) AKU MENYAKSIKAN KERONTANGNYA RERUMPUTAN YANG TAK MAMPU LAGI TEGAK DI PADANG ARAFAH
ketika berangkat dengan harap membongkar segala maksiat yang melekat berlarat-larat sepanjang abad yang terlewat
tak disentuhnya jejalan pagi siang malam dalam jejak lelampuan kota yang merubah pucat pasi wajah yang bertotol-totol segala macam pendurhakaan atas segala nasihat kitab suci
jejak nabi diingkari hanya mengatakan jejak ziarah sejarah dalam goa-goa berbatu tanpa rerumputan kering yang tegak
rerumputan saksi jejak dan debu pasir yang senantiasa memberontaki masa silamnya terasa seperti Rendra yang mencakari masa silam
aku bukan penyair agung itu yang menyesali gelimangan lekuk liku yang membelut luput menggengam sukma perempuannya yang tebayar lunas oleh keperkasaan lelakinya yang tak pernah berhenti membakar
Karna, Kombakarna, Bisma dan Raja Mastwapati yang cidera janji pada rajanya bukan catatan sejarah purba yang sudah jadi mitos negeri maupun cinta yang meminta mertua sebagai mahar
rerumputan kering telah teronggok disantap unta dan kambing Arofah yang senyap!
2010
(9) AKU INGIN MENGENANGNYA HINGGA PANGGILAN LABBAIKA ALLAHHUMMA LABBAIK, LABBAIKKA LA SYARIKALAKA LABBAIK, INALHAMDA WANNI’MATA LAKA WALMULKA LA SYARIKALAK BERDENGUNG DI KALBU...
bagi Arwan Tuti Artha
membaca catatanmu, kawan
membaca kenangan dan misteri kematian
menuliskan tentang mu, kawan
menyisakan ketermanguan atas tanya purba
mencoba menyimak swara alam padang pasir, teman
memahami panggilan sunyi yang tercetak rapi pada kitab suci
mencoba memaknai catatan kitab suci, teman
seperti halnya menelanjangi diri di depan cermin tembus pandang
memahami segala keperihan hidup yang turun bagai gerimis jarum, karib
menunggu adzan mahrib saat berbuka yang menyegarkan dahaga
melukai dari atas masa lalu yang selalu kau tuliskan, karib
menyelesaikan bait-bait puisi yang putih tak usai tercatatkan di larik buku bergaris
menyadari kegagalan semuanya atas segala rencana, sahabat
sebaiknya kusudahi kedukaan yang berlarat ingin memetakan segala yang terlewat.
(10) SEUSAI IBADAH UMRAH
air mata pagi bening menetes menatap ka'bah saat dijumpa pertama senantiasa terbayang jelas menetes di hadapan pintu ka'bah di ruang riuh Raudah bahkan ketika perlahan roda pesawat meninggalkan tanah Jedah
(11) PERCAKAPAN PENZIARAH
masih juga dipergunjingkan peristiwa langka menerpa di tanah haram saling terkam masa silam menghadang bayangan pada putaran tawaf hingga usai sai di ujung bukit membisu sejarah purba tentang wanita dirundung nestapa hingga di tanah jauh di timur belahan dunia terlingkungi gelombang samodra
(12) BLACK DAY YOGYAKARTA
gendingmu semayup langgam kroncong yang terbungkam
menuruti ketiplak sado andong delman menuju kisah senja pualam
kereta kencana impian itu tenggelam dalam genggam angan yang termangu menjelang
putaran malam putih manikam merujuk pada batu nisan
(13) PENYAIR MARJUDDIN
sosoknya memang bukan sosok Chairil
tingkah laku menuju puncak hidup
dilindas pada sepatu hutan dengan cara purba
mencari wangsit dan obat bagi yang sakit
mencatat mantra dan menyemburkan pada yang menderita.
sosoknya seperti Chairil Anwar tanpa luka perjalanan di bebatuan
sosoknya lindap dalam berita gumam alat komunikasi perubahan zaman.
(14) PERSIMPANGAN JALAN TUGU YOGYA
lampu lalu lintas berubah warna dan kau rubuh di kaki tugu
ternyata luka perkawinanmu dengan perempuan selingkuh
tak memperteguh atas ajaran patuh yang kau kukuhkan
lelampuan itu berganti lagi warna dan kau hilang dalam keramaian dunia
2010
(15) PERCAKAPAN DALAM PUISI
bagi Landung R. Smatupang
surat kesukseskan akan cerita misteri laki-istri menyeruak hingga belantara metropolitan meleleh seperti saat lelaki itu meregangkan hasrat purbanya seakan keris Jawa yang masuk dalam warangka
suratan takdir memang membedakan jejak jalan yang sama dirambah sampai pada tikungan jalan yang menawarkan dua cabang jalan kesunyian di tepi hutan. dan kau telah menjejaki sampai jauh dari transparansi layar kaca televisi merajut mimpi para pemukim pedalaman sedang aku selalu menghitung hutang-piutang yang senantiasa mohon diperhitungkan jangka pelunasannya.
2010
(16) CATATAN PAGI SESUAI PERJALANAN
bagi Suminto dan Bakdi Sumanto
apa yang menjadikan jarak diam dalam gerimis petang?
siapa yang menyulam hujan dalam malam hingga fajar?
menghitung catatan pada langit purba bukan lagi pekerjaan mudah
melaporkan keperihan hidup juga bukan hal perlu dipertarungkan dalam diskusi drama
mencatat segala yang terlewat untuk diungkap mungkin yang termudah ditengarai
jejak pagi ini megingatkan malam yang selalu diisinya dengan menghitung bintang yang menghilang.
(17) BEFORE THE END OF YOGYAKARTA
stasiun demi stasiun terlewatkan dalam malam gelap tanpa bulan
dalam kereta yang pengap menyusuri rel besi dingin menuju kota mati
kota itu telah terbelah karena keretakan musim menjatuhkan gerimis
kota itu hanya catatan terakhir penumpang untuk segera tiba
ada pilihan untuk ganti kendaraan atau menanti lanjutan kereta berikut
pada hari baru yang senantiasa menjanjikan suasana yang berbeda

No comments:

Post a Comment